“SISTEM
PEREKONOMIAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA TASIK AGUNG KECAMATAN REMBANG KABUPATEN
REMBANG”
Tugas UAS Mata Kuliah Antropologi Ekonomi
Di susun oleh :
NOVI PUSPITASARI
3401411157
Rombel : 1
(Satu)
PENDIDIKAN
SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Desa Tasik Agung merupakan salah satu
desa di kawasan Pantai Rembang yang memiliki potensi perikanan laut yang cukup
besar untuk dikembangkan. Perkembangan wilayah desa Tasik Agung memiliki nilai
strategis, karena terletak diantara Pelabuhan Perhubungan Laut di sebelah
Barat, dengan kawasan wisata Pantai Kartini di sebelah Timur serta berada dalam wilayah pengembangan jalur
tranportasi utama jalan Pantura Semarang dan Surabaya. Kawasan pemukiman nelayan Desa Tasik Agung masih memiliki karakteristik
lingkungan pemukiman yang terletak pada area sub urban yang merupakan bagian dari pemukiman nelayan kota,
yang juga terpengaruh oleh perkembangan wilayah Kota Rembang pada umumnya. Luas wilayah
Desa Tasik Agung adalah 54,050 Ha, dengan Garis Pantai sepanjang 6,75 Km.
Pemukiman nelayan Desa Tasik Agung terletak pada ketinggian antara 0 sampai
dengan 3 meter di atas permukaan air laut.
Secara
geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara
wilayah darat dan laut (Kusnadi, 2009). Sebagai
suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang
membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol
kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan
inilah yang menjadi pembeda antara masyarakat nelayan dengan kelompok sosial
lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak
langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi
sumberdaya kelautan.
Seperti masyarakat yang lain, masyarakat nelayan menghadapi
sejumlah masalah politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah
tersebut antara lain: Kemiskinan, Keterbatasan
akses modal, teknologi dan pasar, Kelemahan fungsi
kelembagaan sosial ekonomi, Kualitas sumberdaya
mayarakat yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan public, Degradasi sumberdaya
lingkungan baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil, dan Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai
pilar utama pembangunan nasional (Kusnadi, 2009). Hal
ini terbukti bahwa di desa Tasikagung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang
dimana banyak para nelayan yang mengalami permasalahan dalam hal perekonomian.
Bagi mereka, pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang sangat tepat
bagi mereka yang memiliki pendidikan rendah, sehingga salah satu modal yang
mereka gunakan adalah tenaga mereka bukan pikiran mereka. Bagi para nelayan
pekerjaan nelayan adalah bagian dari hidupnya sebab dengan bekerja sebagai
nelayan mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Bagi
masyarakat nelayan, laut bukan hanya sekedar merupakan hamparan air yang
membatasi wilayah daratan, tetapi lebih dari itu yakni sebagai sumber pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari. Kehidupan ekonomi masyarakat nelayan desa Tasik Agung sebagian bergantung
pada kondisi alam dan ini rata-rata dialami oleh sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup di laut, yaitu
kelompok nelayan kecil atau sebagai anak buah kapal. Ketergantungan mereka kepada kebaikan cuaca membuat sebagian masyarakat
nelayan di desa ini harus mempunyai ketahanan ekonomi yang lebih kuat, apalagi
jika mereka sebagai pencari nafkah utama yang harus menghidupi keluarganya. Dalam
permasalahan ini perlu dibutuhkan adanya pola relasi yang baik antara nelayan
kecil atau anak buah kapal, pemilik kapal serta tengkulak dalam sistem
perokonomian.
Dari uraian tersebut, penulis merasa
tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai kondisi ekonomi yang ada di
masyarakat nelayan di desa Tasik Agung. Adapun judul yang penulis kaji adalah “Sistem Perekonomian Masyarakat Nelayan
Di Desa Tasikagung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang”
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan yang ingin dikaji
dalam penulisan ini sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi kehidupan
masyarakat nelayan di desa Tasik Agung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang?
2. Bagaimana bentuk relasi sistem ekonomi
dilakukan oleh masyarakat desa Tasik Agung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kehidupan Masyarakat Nelayan Di Desa Tasik Agung Kecamatan Rembang
Kabupaten Rembang
Masyarakat di kampung nelayan Tasik
Agung bisa dikatakan sebagai masyarakat nelayan yang maju, karena 70% nelayan
disana sudah modern, sehingga hanya 30% nelayan saja yang masih tradisional. Di
kampung nelayan Tasik Agung terdapat perbedaan antara nelayan zaman dahulu
dengan nelayan zaman sekarang. Perbedaan itu antara lain dalam hal peralatan
yang di gunakan. Zaman dahulu masih sangat sederhana, kapal yang digunakanpun
masih kapal kecil, kapal berukuran besar hanya digunakan orang-orang tertentu.
Tapi sekarang sebagian besar dari nelayan sudah menggunakan peralatan yang
modern, misalnya alat untuk menarik jaring sudah menggunakan tenaga mesin,
kapal yang digunakan juga berukuran besar, sehingga bisa mendapatkan hasil
tangkapan yang lebih banyak.
Walaupun
daerah Tasik Agung disebut kampung nelayan, tapi tidak semua warganya bekerja
sebagai pelaut. Banyak warga Tasik Agung yang bekerja sebagai pengusaha,
misalnya penjual ikan panggang atau asap, penjual ikan pindang, penjual ikan
kering, krupuk ikan, fillet ikan. Pengusaha di Tasik Agung dibedakan menjadi dua,
yaitu: Pengusaha kecil, ia bekerja mengelola ikan dalam jumlah yang
kecil dan penjualannya dalam skala yang kecil pula atau tingkat lokal dan Pengusaha
menengah atas, ia mengelola ikan dalam jumlah yang cukup banyak, skala
penjualannya luas bisa sampai luar kota, ia juga mempunyai modal yang besar. Sedangkan kelompok nelayan yang ada di Desa Tasik Agung
Rembang terdiri dari pemilik modal atau pemilik kapal, ABK (anak buah kapal)
yang merupakan nelayan kecil, serta orang yang membantu pembongkaran kapal
(biasanya anak-anak kecil dari daerah lain, namun ada juga warga dari desa
Tasik Agung sendiri.
Secara umum, nelayan kecil atau anak buah kapal
tergolong masyarakat nelayan miskin, yang mana mereka bekerja sesuai panggilan
dari sang pemilik kapal. Gambaran kondisi kemiskinan nelayan kecil antara lain
secara nyata dapat dilihat dari kondisi fisik berupa kualitas pemukiman mereka.
Umumnya kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi
rumah hunian mereka. Rumah-rumah mereka yang umumnya sangat sederhana, yaitu
berdinding bambu, berlantai tanah, serta dengan fasilitas dan keterbatasan
perabot rumah tangga. Selain gambaran fisik, identifikasi lain yang menonjol di
kalangan nelayan miskin adalah rendahnya tingkat pendidikan anak-anak, pola
konsumsi sehari-hari, dan tingkat pendapatan mereka. Dengan pendidikan yang
rendah jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tadisional memilih atau
memperoleh pekerjaan lain selain mejadi nelayan. (Kusnadi, 2002:3). Di kampung-kampung
nelayan memang ada beberapa rumah yang tampak bagus dengan fasilitas yang
memadai, itulah yang merupakan rumah-rumah pemilik kapal atau pemilik modal. Perbedaan
kehidupan antara nelayan kelas atas dan nelayan kelas bawah dapat dilihat dari
kondisi rumah fisik dan perekonomian, kepemilikan modal serta kepemilikan
kapal.
B. Pola Relasi
Sistem Ekonomi Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Desa Tasik Agung Kecamatan
Rembang Kabupaten Rembang
Kehidupan masyarakat
nelayan merupakan kehidupan yang secara nyata yang dapat dilakukan dengan cara
atau melalui usaha mereka yang dipengaruhi oleh musim penangkapan ikan. Pada
musim ikan (musim penghujan) biasanya penangkapan ikan meningkat. Akan tetapi pada
musim kemarau tingkat penghasilan nelayan minim. Hal ini disebabkan karena kondisi
alam yang tidak menunjang, terbatasnya modal dan tingkat pendidikan yang rendah
sehingga mengakibatkan keadaan sosial ekonomi lemah. Dalam kondisi ini telah
menunjukkan bahwa ada satu sistem yang membuat nelayan kecil sebagai anak buah
kapal semakin terpinggirkan secara ekonomi. Misalnya saja, ketika harga ikan
yang merupakan sumber dari pendapatan mereka dikendalikan oleh para pemilik
modal atau pedagang. Hal ini tentu saja dapat membuat distribusi pendapatan
tidak merata yang disebabkan karena adanya permainan harga, sehingga para
nelayan kecil biasanya mendapatkan masukan yang rendah sedangkan pemilik modal
atau pemilik kapal mendapatkan masukan lebih besar.
Hal
ini tidak dapat dipungkiri, bahwa citra nelayan kecil terutama pada nelayan
tradisional masih dikatakan sebagai golongan yang tidak mampu atau miskin.
Kemiskinan yang dialami oleh para nelayan ini sesungguhnya juga tidak lepas
dari pengaruh yang ada disekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Secara sadar
atau tidak kebiasaan hidup seperti malas dan pasrah terhadap nasib menjadi
bagian dari mentalitas mereka. Sistem kelas atas yang sulit dijangkau mereka karena
keterbatasan modal, pendidikan serta akses ditambah lagi ketergantungan mereka
terhadap pekerjaan melaut kepada pemilik kapal serta kebaikan cuaca, hal ini
membuat mereka sulit melakukan mobilitas kelas sosial. Sementara dari nelayan
kelas atas sebagai pemilik kapal mempunyai hak penuh atas waktu kapan dan berapa
lama akan melaut, dan nelayan ini juga mempunyai keuntungan yang lebih besar
dari hasil penangkapan ikan daripada nelayan kelas bawah sebagai anak buah
kapal.
Dalam
penjualan hasil penangkapan ikanpun nelayan dari kelas bawah tidak bisa
menikmati secara penuh, karena tengkulak lah yang akan memberikan harga ikan di
pasaran. Hal ini sama dengan yang dijelaskan oleh Nasution dan Dharyati (1999)
bahwa nelayan memperoleh hak penangkapan ikan dari pedagang, pada kondisi
tersebut walaupun nilai ikan tangkapan nelayan cukup tinggi, namun pendapatan
nelayan masih tetap saja rendah sebagai akibat tingginya nikai akses usaha
penangkapan ikan ikan di perairan. Hal ini dikarenakan diizinkannya warga yang
bukan nelayan ikut serta dalam pelelangan (Zain, 1982). Kehidupan nelayan kecil
sebagai anak buah kapal yang bersifat musiman dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari seiring berjalannya barang-barang yang semakin mahal, dan cara
untuk meningkatkan kehidupan keluarga nelayan, mengingat para nelayan kecil
mendapatkan masukan yang lebih kecil daripada pemilik modal atau pemilik kapal.
Karena pada kenyataannya banyak para nelayan kelas ini yang sering mengeluh
karena pendapatan yang sangat minim sedangkan mereka harus memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Analisis
Teori :
Marxisme dan strukturalisme
merupakan paradigma yang menolak pandangan realis dan liberalis mengenai konsep
konflik dan kerjasama. Bagi kaum marxis, realisme dan liberalisme adalah
ideologi egois yang diperkenalkan oleh elit ekonomi untuk membela dan
membenarkan ketidaksetaraan global yang terjadi (Wardhani, 2013). Aktor utama
dalam teori marxis adalah kelas-kelas dalam masyarakat, karena menurut kaum
marxis, kehidupan manusia tidak akan jauh dari konflik antar kelas. Kelas yang
terbentuk dalam masyarakat terdiri atas kelas borjuis (memiliki alat-alat
produksi) dan kelas proletar (memiliki kekuatan kerja yang dijual kepada
borjuis) (Jackson & Sorensen, 2005, p. 239).
Marxis memandang sistem
internasional sebagai sistem kapitalis yang terintegrasi dalam mengejar
akumulasi modal. Kapitalisme hanya akan membuat kaum borjuis atau pemilik modal
akan selalu mengeksploitasi kaum proletar atau kaum yang tidak memiliki modal.
Materi dianggap sebagai suatu pencapaian tertinggi, sehingga kaum borjuis akan
terus berusaha meningkatkan pencapaian materinya, walaupun materi yang mereka
miliki sudah sangat cukup bila dibandingkan dengan kaum proletar. Disinilah
Marx menentang ketidaksetaraan tersebut karena menurutnya, kaum borjuis tidak
banyak bekerja, mereka hanya memanfaatkan modal yang dimilikinya, namun mereka
mendapatkan keuntugan yang sangat banyak, sementara kaum proletar yang bekerja
dengan susah payah hanya mendapatkan sedikit keuntungan, dan mereka tidak pernah
mendapatkan kesempatan untuk memiliki modal tersebut (Wardhani, 2013). Maka
untuk menciptakan kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh semua pihak serta
perdamaian dunia, marxisme menuntut adanya penghapusan kelas-kelas sosial dalam
masyarakat.
Sementara
strukturalisme merupakan sebuah konsep yang diilhami dari teori marxisme, namun
sekaligus mengkritik teori marxisme. Strukturalisme berpendapat bahwa pembagian
kelas-kelas sosial dalam masyarakat memang perlu adanya dan tidak dapat
dihindari karena kelas-kelas terebut saling membutuhkan dalam sistem
internasional. Asumsi dasar strukturalisme adalah bahwa manusia bersifat
dinamis dan kegiatan yang dilakukan manusia diatur oleh lingkungan atau
struktur. Dalam strukturalisme, terdapat dua teori, yaitu teori sistem dunia (world
system theory) dan teori ketergantungan (dependency theory).
Kondisi perekonomian
masyarakat nelayan desa Tasik Agung kecamatan Rembang kabupaten Rembang secara
tidak langsung dikuasai oleh para pemilik modal atau pemilik kapal dan para
tengkulak. Sebagai kelompok nelayan kelas atas, para pemilik modal atau pemilik
kapal mempunyai hak penuh akan beroperasinya kapal, sedangkan para nelayan
kecil sebagai anak buah kapal memperoleh posisi yang cukup terpinggirkan. Hal
ini dikarenakan mereka sangat tergantung pada pemilik kapal dan para tengkulak.
Keterbatasan kelompok nelayan kecil akan akses, kepemilikan modal serta
pendidikan membuat mereka sulit melakukan mobilitas kelas sosial yang ada. Hubungan
antara para pemilik modal atau kapal, para nelayan kecil sebagai anak buah
kapal serta tengkulak terjalin sangat erat dan bersifat saling mempengaruhi
satu sama lain. Hal ini sesuai dengan kajian teori structural dan marxisme yang
telah diuraikan diatas.
BAB III
PENUTUP
Masyarakat nelayan di desa Tasik Agung kecamatan
Rembang kabupaten Rembang tergolong masyarakat nelayan yang sudah modern.
Masyarakatnya tergolong atas beberapa kelompok nelayan yaitu nelayan kelas atas
yang merupakan pemilik modal atau pemilik kapal, nelayan kelas bawah atau
nelayan kecil yang merupakan nelayan sebagai anak buah kapal, tengkulak atau
pedagang ikan yang ada di tempat pelelangan ikan serta orang-orang yang
membantu nelayan dalam proses pembongkaran dari hasil melaut. Dalam kehidupan
nelayan kelas atas dan kelas bawah sangat berbeda, hal ini didasari atas perbedaan
tingkat pendapatan hasil melaut dimana pemilik modal mendapatkan jatah yang
jauh lebih besar daripada anak buah kapal, perbedaan akses, kepemilikan modal atau
kekayaan serta keterlibatan orang luar yaitu tengkulak dalam hasil penjualan
ikan. Hal ini yang mendasari kelompok nelayan kecil atau anak buah kapal
semakin terpinggirkan. Dalam permasalahan ini sebaiknya pemerintah ikut serta
dalam hal pembangunan ekonomi bagi masyarakat nelayan kecil guna untuk
meningkatkan taraf hidupnya. Bagi nelayan kecil ada baiknya jika tidak menempatkan
pekerjaan nelayan sebagai pekerjaan tunggal melainkan mempunyai pekerjaan
sampingan untuk menyokong pemasukan ekonomi.
DAFTAR
PUSTAKA
Jackson, R. and
Sorensen, G. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Yoyakarta: Pusaka Pelajar
Kusnadi.
2002. Konflik Sosial Nelayan (Kemiskinan
dan Perebutan Sumber Daya Alam). Yogyakarta: LKIS
______. 2009. Keberdayaan Nelayan dan
Dinamika Ekonomi Pesisir. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Nasution,
E dan E. Dharyati. 1999. Dampak Lelang
Perairan terhadap Ekonomi Nelayan di Sungai Lempuing, Sumatera Selatan.
Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan. Sekolah Tinggi Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Zain,
I.H. 1982. Status Perikanan Perairan Umum
di Sumatera Selatan. Prosiding Puslibangkan No. 1/SPPU/1982. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta
Wardhani, Baiq. 2013. Marxisme dan Strukturalisme, materi disampaikan pada kuliah Teori
Hubungan Internasional, Departemen Hubungan Internsional, Universitas
Airlangga. 28 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar