Laman

Selasa, 15 Juli 2014

Antropologi Ekonomi

 










“SISTEM PEREKONOMIAN MASYARAKAT NELAYAN DI DESA TASIK AGUNG KECAMATAN REMBANG KABUPATEN REMBANG”

Tugas  UAS Mata Kuliah Antropologi Ekonomi

Di susun oleh :
NOVI PUSPITASARI
3401411157
Rombel   :  1 (Satu)


PENDIDIKAN SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Desa Tasik Agung merupakan salah satu desa di kawasan Pantai Rembang yang memiliki potensi perikanan laut yang cukup besar untuk dikembangkan. Perkembangan wilayah desa Tasik Agung memiliki nilai strategis, karena terletak diantara Pelabuhan Perhubungan Laut di sebelah Barat, dengan kawasan wisata Pantai Kartini di sebelah Timur serta berada dalam wilayah pengembangan jalur tranportasi utama jalan Pantura Semarang dan Surabaya. Kawasan pemukiman nelayan Desa Tasik Agung masih memiliki karakteristik lingkungan pemukiman yang terletak pada area sub urban yang merupakan bagian dari pemukiman nelayan kota, yang juga terpengaruh oleh perkembangan wilayah Kota Rembang pada umumnya. Luas wilayah Desa Tasik Agung adalah 54,050 Ha, dengan Garis Pantai sepanjang 6,75 Km. Pemukiman nelayan Desa Tasik Agung terletak pada ketinggian antara 0 sampai dengan 3 meter di atas permukaan air laut.
Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan  pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut (Kusnadi, 2009). Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan inilah yang menjadi pembeda antara masyarakat nelayan dengan kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya kelautan.
Seperti masyarakat yang lain, masyarakat nelayan menghadapi sejumlah masalah politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut antara lain: Kemiskinan, Keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar, Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi, Kualitas sumberdaya mayarakat yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan public, Degradasi sumberdaya lingkungan baik di kawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil, dan Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional (Kusnadi, 2009). Hal ini terbukti bahwa di desa Tasikagung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang dimana banyak para nelayan yang mengalami permasalahan dalam hal perekonomian. Bagi mereka, pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang sangat tepat bagi mereka yang memiliki pendidikan rendah, sehingga salah satu modal yang mereka gunakan adalah tenaga mereka bukan pikiran mereka. Bagi para nelayan pekerjaan nelayan adalah bagian dari hidupnya sebab dengan bekerja sebagai nelayan mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Bagi masyarakat nelayan, laut bukan hanya sekedar merupakan hamparan air yang membatasi wilayah daratan, tetapi lebih dari itu yakni sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kehidupan ekonomi masyarakat nelayan desa Tasik Agung sebagian bergantung pada kondisi alam dan ini rata-rata dialami oleh sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup di laut, yaitu kelompok nelayan kecil atau sebagai anak buah kapal. Ketergantungan mereka kepada kebaikan cuaca membuat sebagian masyarakat nelayan di desa ini harus mempunyai ketahanan ekonomi yang lebih kuat, apalagi jika mereka sebagai pencari nafkah utama yang harus menghidupi keluarganya. Dalam permasalahan ini perlu dibutuhkan adanya pola relasi yang baik antara nelayan kecil atau anak buah kapal, pemilik kapal serta tengkulak dalam sistem perokonomian.
Dari uraian tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai kondisi ekonomi yang ada di masyarakat nelayan di desa Tasik Agung. Adapun judul yang penulis kaji adalah Sistem Perekonomian Masyarakat Nelayan Di Desa Tasikagung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang”

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan yang ingin dikaji dalam penulisan ini sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi kehidupan masyarakat nelayan di desa Tasik Agung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang?
2. Bagaimana bentuk relasi sistem ekonomi dilakukan oleh masyarakat desa Tasik Agung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kehidupan Masyarakat Nelayan Di Desa Tasik Agung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang
Masyarakat di kampung nelayan Tasik Agung bisa dikatakan sebagai masyarakat nelayan yang maju, karena 70% nelayan disana sudah modern, sehingga hanya 30% nelayan saja yang masih tradisional. Di kampung nelayan Tasik Agung terdapat perbedaan antara nelayan zaman dahulu dengan nelayan zaman sekarang. Perbedaan itu antara lain dalam hal peralatan yang di gunakan. Zaman dahulu masih sangat sederhana, kapal yang digunakanpun masih kapal kecil, kapal berukuran besar hanya digunakan orang-orang tertentu. Tapi sekarang sebagian besar dari nelayan sudah menggunakan peralatan yang modern, misalnya alat untuk menarik jaring sudah menggunakan tenaga mesin, kapal yang digunakan juga berukuran besar, sehingga bisa mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak.
Walaupun daerah Tasik Agung disebut kampung nelayan, tapi tidak semua warganya bekerja sebagai pelaut. Banyak warga Tasik Agung yang bekerja sebagai pengusaha, misalnya penjual ikan panggang atau asap, penjual ikan pindang, penjual ikan kering, krupuk ikan, fillet ikan. Pengusaha di Tasik Agung dibedakan menjadi dua, yaitu: Pengusaha kecil, ia bekerja mengelola ikan dalam jumlah yang kecil dan penjualannya dalam skala yang kecil pula atau tingkat lokal dan Pengusaha menengah atas, ia mengelola ikan dalam jumlah yang cukup banyak, skala penjualannya luas bisa sampai luar kota, ia juga mempunyai modal yang besar. Sedangkan kelompok nelayan yang ada di Desa Tasik Agung Rembang terdiri dari pemilik modal atau pemilik kapal, ABK (anak buah kapal) yang merupakan nelayan kecil, serta orang yang membantu pembongkaran kapal (biasanya anak-anak kecil dari daerah lain, namun ada juga warga dari desa Tasik Agung sendiri.
Secara umum, nelayan kecil atau anak buah kapal tergolong masyarakat nelayan miskin, yang mana mereka bekerja sesuai panggilan dari sang pemilik kapal. Gambaran kondisi kemiskinan nelayan kecil antara lain secara nyata dapat dilihat dari kondisi fisik berupa kualitas pemukiman mereka. Umumnya kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah hunian mereka. Rumah-rumah mereka yang umumnya sangat sederhana, yaitu berdinding bambu, berlantai tanah, serta dengan fasilitas dan keterbatasan perabot rumah tangga. Selain gambaran fisik, identifikasi lain yang menonjol di kalangan nelayan miskin adalah rendahnya tingkat pendidikan anak-anak, pola konsumsi sehari-hari, dan tingkat pendapatan mereka. Dengan pendidikan yang rendah jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tadisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain selain mejadi nelayan. (Kusnadi, 2002:3). Di kampung-kampung nelayan memang ada beberapa rumah yang tampak bagus dengan fasilitas yang memadai, itulah yang merupakan rumah-rumah pemilik kapal atau pemilik modal. Perbedaan kehidupan antara nelayan kelas atas dan nelayan kelas bawah dapat dilihat dari kondisi rumah fisik dan perekonomian, kepemilikan modal serta kepemilikan kapal.
B. Pola Relasi Sistem Ekonomi Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Desa Tasik Agung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang
   Kehidupan masyarakat nelayan merupakan kehidupan yang secara nyata yang dapat dilakukan dengan cara atau melalui usaha mereka yang dipengaruhi oleh musim penangkapan ikan. Pada musim ikan (musim penghujan) biasanya penangkapan ikan meningkat. Akan tetapi pada musim kemarau tingkat penghasilan nelayan minim. Hal ini disebabkan karena kondisi alam yang tidak menunjang, terbatasnya modal dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga mengakibatkan keadaan sosial ekonomi lemah. Dalam kondisi ini telah menunjukkan bahwa ada satu sistem yang membuat nelayan kecil sebagai anak buah kapal semakin terpinggirkan secara ekonomi. Misalnya saja, ketika harga ikan yang merupakan sumber dari pendapatan mereka dikendalikan oleh para pemilik modal atau pedagang. Hal ini tentu saja dapat membuat distribusi pendapatan tidak merata yang disebabkan karena adanya permainan harga, sehingga para nelayan kecil biasanya mendapatkan masukan yang rendah sedangkan pemilik modal atau pemilik kapal mendapatkan masukan lebih besar.
Hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa citra nelayan kecil terutama pada nelayan tradisional masih dikatakan sebagai golongan yang tidak mampu atau miskin. Kemiskinan yang dialami oleh para nelayan ini sesungguhnya juga tidak lepas dari pengaruh yang ada disekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Secara sadar atau tidak kebiasaan hidup seperti malas dan pasrah terhadap nasib menjadi bagian dari mentalitas mereka. Sistem kelas atas yang sulit dijangkau mereka karena keterbatasan modal, pendidikan serta akses ditambah lagi ketergantungan mereka terhadap pekerjaan melaut kepada pemilik kapal serta kebaikan cuaca, hal ini membuat mereka sulit melakukan mobilitas kelas sosial. Sementara dari nelayan kelas atas sebagai pemilik kapal mempunyai hak penuh atas waktu kapan dan berapa lama akan melaut, dan nelayan ini juga mempunyai keuntungan yang lebih besar dari hasil penangkapan ikan daripada nelayan kelas bawah sebagai anak buah kapal.
Dalam penjualan hasil penangkapan ikanpun nelayan dari kelas bawah tidak bisa menikmati secara penuh, karena tengkulak lah yang akan memberikan harga ikan di pasaran. Hal ini sama dengan yang dijelaskan oleh Nasution dan Dharyati (1999) bahwa nelayan memperoleh hak penangkapan ikan dari pedagang, pada kondisi tersebut walaupun nilai ikan tangkapan nelayan cukup tinggi, namun pendapatan nelayan masih tetap saja rendah sebagai akibat tingginya nikai akses usaha penangkapan ikan ikan di perairan. Hal ini dikarenakan diizinkannya warga yang bukan nelayan ikut serta dalam pelelangan (Zain, 1982). Kehidupan nelayan kecil sebagai anak buah kapal yang bersifat musiman dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari seiring berjalannya barang-barang yang semakin mahal, dan cara untuk meningkatkan kehidupan keluarga nelayan, mengingat para nelayan kecil mendapatkan masukan yang lebih kecil daripada pemilik modal atau pemilik kapal. Karena pada kenyataannya banyak para nelayan kelas ini yang sering mengeluh karena pendapatan yang sangat minim sedangkan mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Analisis Teori :
Marxisme dan strukturalisme merupakan paradigma yang menolak pandangan realis dan liberalis mengenai konsep konflik dan kerjasama. Bagi kaum marxis, realisme dan liberalisme adalah ideologi egois yang diperkenalkan oleh elit ekonomi untuk membela dan membenarkan ketidaksetaraan global yang terjadi (Wardhani, 2013). Aktor utama dalam teori marxis adalah kelas-kelas dalam masyarakat, karena menurut kaum marxis, kehidupan manusia tidak akan jauh dari konflik antar kelas. Kelas yang terbentuk dalam masyarakat terdiri atas kelas borjuis (memiliki alat-alat produksi) dan kelas proletar (memiliki kekuatan kerja yang dijual kepada borjuis) (Jackson & Sorensen, 2005, p. 239).
Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis yang terintegrasi dalam mengejar akumulasi modal. Kapitalisme hanya akan membuat kaum borjuis atau pemilik modal akan selalu mengeksploitasi kaum proletar atau kaum yang tidak memiliki modal. Materi dianggap sebagai suatu pencapaian tertinggi, sehingga kaum borjuis akan terus berusaha meningkatkan pencapaian materinya, walaupun materi yang mereka miliki sudah sangat cukup bila dibandingkan dengan kaum proletar. Disinilah Marx menentang ketidaksetaraan tersebut karena menurutnya, kaum borjuis tidak banyak bekerja, mereka hanya memanfaatkan modal yang dimilikinya, namun mereka mendapatkan keuntugan yang sangat banyak, sementara kaum proletar yang bekerja dengan susah payah hanya mendapatkan sedikit keuntungan, dan mereka tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk memiliki modal tersebut (Wardhani, 2013). Maka untuk menciptakan kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh semua pihak serta perdamaian dunia, marxisme menuntut adanya penghapusan kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
            Sementara strukturalisme merupakan sebuah konsep yang diilhami dari teori marxisme, namun sekaligus mengkritik teori marxisme. Strukturalisme berpendapat bahwa pembagian kelas-kelas sosial dalam masyarakat memang perlu adanya dan tidak dapat dihindari karena kelas-kelas terebut saling membutuhkan dalam sistem internasional. Asumsi dasar strukturalisme adalah bahwa manusia bersifat dinamis dan kegiatan yang dilakukan manusia diatur oleh lingkungan atau struktur. Dalam strukturalisme, terdapat dua teori, yaitu teori sistem dunia (world system theory) dan teori ketergantungan (dependency theory).
            Kondisi perekonomian masyarakat nelayan desa Tasik Agung kecamatan Rembang kabupaten Rembang secara tidak langsung dikuasai oleh para pemilik modal atau pemilik kapal dan para tengkulak. Sebagai kelompok nelayan kelas atas, para pemilik modal atau pemilik kapal mempunyai hak penuh akan beroperasinya kapal, sedangkan para nelayan kecil sebagai anak buah kapal memperoleh posisi yang cukup terpinggirkan. Hal ini dikarenakan mereka sangat tergantung pada pemilik kapal dan para tengkulak. Keterbatasan kelompok nelayan kecil akan akses, kepemilikan modal serta pendidikan membuat mereka sulit melakukan mobilitas kelas sosial yang ada. Hubungan antara para pemilik modal atau kapal, para nelayan kecil sebagai anak buah kapal serta tengkulak terjalin sangat erat dan bersifat saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini sesuai dengan kajian teori structural dan marxisme yang telah diuraikan diatas.

BAB III
PENUTUP

Masyarakat nelayan di desa Tasik Agung kecamatan Rembang kabupaten Rembang tergolong masyarakat nelayan yang sudah modern. Masyarakatnya tergolong atas beberapa kelompok nelayan yaitu nelayan kelas atas yang merupakan pemilik modal atau pemilik kapal, nelayan kelas bawah atau nelayan kecil yang merupakan nelayan sebagai anak buah kapal, tengkulak atau pedagang ikan yang ada di tempat pelelangan ikan serta orang-orang yang membantu nelayan dalam proses pembongkaran dari hasil melaut. Dalam kehidupan nelayan kelas atas dan kelas bawah sangat berbeda, hal ini didasari atas perbedaan tingkat pendapatan hasil melaut dimana pemilik modal mendapatkan jatah yang jauh lebih besar daripada anak buah kapal, perbedaan akses, kepemilikan modal atau kekayaan serta keterlibatan orang luar yaitu tengkulak dalam hasil penjualan ikan. Hal ini yang mendasari kelompok nelayan kecil atau anak buah kapal semakin terpinggirkan. Dalam permasalahan ini sebaiknya pemerintah ikut serta dalam hal pembangunan ekonomi bagi masyarakat nelayan kecil guna untuk meningkatkan taraf hidupnya. Bagi nelayan kecil ada baiknya jika tidak menempatkan pekerjaan nelayan sebagai pekerjaan tunggal melainkan mempunyai pekerjaan sampingan untuk menyokong pemasukan ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA
Jackson, R. and Sorensen, G. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yoyakarta: Pusaka Pelajar
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan (Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Alam). Yogyakarta: LKIS
______. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Nasution, E dan E. Dharyati. 1999. Dampak Lelang Perairan terhadap Ekonomi Nelayan di Sungai Lempuing, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan. Sekolah Tinggi Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Zain, I.H. 1982. Status Perikanan Perairan Umum di Sumatera Selatan. Prosiding Puslibangkan No. 1/SPPU/1982. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta

Wardhani, Baiq. 2013. Marxisme dan Strukturalisme, materi disampaikan pada kuliah Teori Hubungan Internasional, Departemen Hubungan Internsional, Universitas Airlangga. 28 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar